Mencari teman adalah sesuatu yang menyenangkan. Mencari kawan terkadang layaknya mencari duri di dalam daging, mencari jarum di tumpukan jerami. Namun kembali lagi bahwa mencari teman adalah sesuatu yang menyenangkan.
Sore ini aku memperoleh teman baru, seorang kenalan dari seorang sahabat yang sangat mengenal aku sedari SMA dulu. Tak pernah kulihat paras, tak pernah bertemu sebelumnya. Hanyalah seorang kawan baru yang benar-benar orang baru. Mungkindari sekitar 6 Milliar penduduk dunia, orang ini benar-benar orang baru.
Berawal dari sebuah kata " Hai" hingga berlanjut ke topik yang sedikit membahas tentang dirinya. Menyenangkan berkenalan dengan sosok yang humble dan tidak berpandangan negatif tentang orang baru yang dikenalnya.

Subhanallah dan Alhamdulillah aku diberikan rejeki hari ini, bukan materi, bukan apapun tapi seorang teman. memang sudah saatnya aku selalu berucap syukur disetiap rizki yang aku peroleh. terima kasih ya Allah, terima kasih tuhanku atas segala karunia yang kau berikan dan kau wujudkan dalam setiap langkah kakiku.

mungkin blog kali ini agak menyimpang dari judul blog ini, namun hanya ingin mengutarakan rasa terima kasih ku pada Tuhan ku, sahabat karibku dan teman yang sangat peduli padaku.

regards

Adhi Pradityo

Metropolis yang Menjadi Mimpi namun Ironis

Bogor, 31 May 2010

Sekarang Bogor sudah berubah, sudah ramai, sudah padat dan kata beberapa orang dengan istilahnya adalah Bogor sudah “semrawut”. Tetapi kalo kata kaum-kaum yang mengaku dirinya elite pastinya akan berkata lain berkenaan dengan kondisi Bogor saat ini. Bogor sudah dan akan beranjak menjadi kota metropolitan katanya. Entah siap atau tidak namun itulah kenyataan dan mungkin keinginan dari semua penduduk di suatu wilayah.
Menjadi kota metropolitan tidak sepenuhnya memberikan keuntungan. Bagi saya metropolitan berarti selangkah lagi menuju kehancuran. Mengapa?
Tengoklah Jakarta! Bagi sebagian orang tinggal di kota metropolitan memberikan nilai lebih tersendiri kepada dirinya. Atau lebih prestise katanya. Tapi apakah nilai prestise adalah segalanya? Tidak tentunya.. Sempat ada kabar bahwa satu keluarga yang tinggal di kawasan elite di Kota metropolitan tewas terbunuh tanpa diketahui oleh tetangganya.IRONIS!!
Ironis adalah kata yang paling tepat menurut saya, mengapa demikian? Coba anda bayangkan manusia atau sekumpulan manusia yang tinggal di suatu kompleks perumahan yang sama namun tidak mengenal satu sama lain. Ya metropolis berarti Individualis. Atau bahasa kerennya adalah “gue ya gue, loe ya loe” atau kalau mau menggunakan ejaan yang -diannggap- disempurnakan maka akan menjadi, “urusan aku adalah urusan aku, dan urusan kamu adalah urusan kamu!”.
Semenjak Taman kanak-kanak bahkan sampai duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, adik-adik kita selalu ditekankan akan pentingnya kehidupan bergotong royong yang konon katanya menjadi cirri khas bangsa ini. Bahkan ada salah satu partai politik di Indonesia yang sangat mengeluelukan ciri khas Indonesia yang satu ini. Namun apakah ciri individualism sesuai dengan kehidupan bergotong royong? Apakah kehidupan metropolis yang serba mewah harus mengenyampingkan hal ini dan menaikan derajat prestise di atas segalanya? Bagi saya ini terdengar sangat konyol, mengapa demikian? Tengok saja, ada warga perumahan yang tidak kenal siapa tetangganya, baik yang tepat disebelah rumahnya maupun didepan rumahnya. Hal ini bukan barang langka untuk orang-orang yang tinggal di kawasan metropolitan. Dan bukan barang langka lagi kalau terdapat rumah mewah dibobol maling namun tidak ada yang bereaksi, ya karena itu, individualism sudah sangat membabibuta di kota besar. Seperti yang saya katakana sebelumnya bahwa metropolitan adalah selangkah lagi menuju kehancuran, setelah metropolitan lalu megapolitan dan lalu hancur..begitulah siklusnya…kita liat saja apa yang akan terjadi dengan Indonesia dan sekitarnya. Alangkah indahnya kalo metropolitan tetap sejalan dengan kebersamaan. Amin…..  

Arema dan Malang...

Malang, 29 Mei 2010

Arema Malang atau sekarang berubah nama menjadi arema Indonesia, baru saja menjuarai Liga Super Indonesia. Saya berada di Kota Malang hanya untuk 3 hari 2 malam saja, namun fenomena fanatisme dan solidaritas antara supporter dengan tim kebanggannya patut diacungi jempol. Walau terkadang fanatisme tersebut memberikan efek negative kepada lingkungan sekitar. Let’s say, hal tersebut dapat menyebabkan kemacetan di mana mana, dipenjuru Kota Malang untuk satu minggu ke depan, menurut informasi dari sepupu saya di Malang.
Malang adalah sebuah kota yang memiliki kondisi demografi yang tidak jauh berbeda dengan Bandung, alamnya yang sejuk dan masih banyaknya pohon di Kota-kota yang saya sebutkan. Perbedaannya adalah penduduk kota malang mungkin lebih memiliki kesabaran dalam mengendari kendaraannya ketimbang dengan penduduk di Kota Bandung. Di sini pengendara motor masih memiliki “norma” atau kesopanan dalam mengendarai motornya. Coba kita tengok di Bandung, pengendara motor di sana, banyak yang ugal-ugalan, seenaknya dan sebagainya. Walaupun harus diakui bahwa tidak separah di Jakarta sih. Diakui memang kondisi jalanan dan tingkat keramaian yang berbeda antara kota Malang, Bandung atau bahkan Jakarta. Kehidupan yang menuntut untuk serba cepat dan persaingan yang membabi buta di kota besar membuat orang menuntut untuk memperoleh segala sesuatu yang sifatnya cepat dan sempurna.
Sialnya, kebutuhan akan kecepatan dan persaingan tersebut berimbas pula kepada kehidupan di jalanan. Maksud saya adalah kehidupan dalam melakukan aktivitas berkendara. Etika berkendara menjadi terabaikan –kadangkala-, unsur individualism menjadi harga mati. Siapa gw siapa lu, terkadang Nampak terlihat di wajah orang-orang di kota besar, terkadang keramahan hanya bisa diberikan kepada orang-orang yang puya uang dan kekuasaan. MEMPRIHATINKAN.

Sosial or "So Sial"

Malang, 28 Mei 2010

Setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa setiap manusia juga membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Oleh karena itu manusia seringkali disebut sebagai mahluk social, walau terkadang masih saja tetap ada segelintir orang yang menganggap mereka mampu hidup dan bertahan tanpa orang lain.
“Sosial” atau “So Sial”? Sosial sendiri kadangkala ditafsirkan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan orang banyak ( maaf saya tidak melihat ke kamus besar bahasa Indonesia ataupun buku-buku ilmu social sebagai rujukan), sedakan “So sial” berarti selalu merasa sial. Ada beberapa orang yang beranggapan bahwa dengan terlalu banyak berhubungan dengan orang akan mendatangkan kerugian bagi mereka. Jujur dari hati yang palong dalam, saya bingung mengapa orang-orang tersebut bisa beranggapan dan berpendapat seperti itu. Apa ruginya memiliki banyak teman? Apa ruginya memiliki suatu jaringan yang luas? Mungkin orang-orang “aneh” tersebut beranggapan seperti layaknya seorang hitler yang menganggap bahwa suku arya adalah yang terbaik, namun setau saya Hitler tidak menutup komunikasi dengan banyak orang. Heran saya, mengapa kawan-kawan saya itu memiliki kecenderungan berpikir seperti itu.
They are unordinary guys….

    Followers

    Adhie's world

    ShoutBox

    Name :
    Web URL :
    Message :
    :) :( :D :p :(( :)) :x

    Iklan iklan